Senin, 31 Januari 2011
Ketuwen di Tengah Peralihan Budaya Masyarakat Kaliwungu
Ketuwen di Tengah Peralihan Budaya
Masyarakat Kaliwungu
Oleh : Abdul Basyid
Sejak Kaliwungu diproyeksikan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Jawa bagian utara oleh Bupati Kendal, menjadi
tanda tanya sebagian masyarakat Kaliwungu. Kekhawatiran ini wajar,
mengingat belum adanya informasi dan sosialisasi yang akurat dari
pemerintah tentang apa itu KEK, dan bagaimana manfaat KEK untuk masyarakat Kaliwungu.
Kekhawatiran – kekhawatiran yang berkembang di masyarakat jika ditelusuri ada tiga macam. Yakni kekhawatiran ekonomi, kekhawatiran sosial budaya, dan kekhawatiran tataruang kota.
Potret kekhawatiran tersebut jangan sampai dibiarkan begitu saja. Apa
yang terjadi terhadap Jakarta, Semarang, dan kota –kota besar lainnya
jangan sampai terulang di Kaliwungu.
Kaliwungu
adalah kota santri. Julukan yang melekat ini tidaklah ringan untuk
disandang. Meskipun fakta berbicara kalau di Kaliwungu banyak dijumpai
pondok persantren, dan itu merupakan pusat pembelajaran agama. Bahkan
kondisi kesantrianpun dapat dilihat dari budaya masyarakat setempat.
Kesantrian masyarakat Kaliwungu ternyata memberi warna terhadap budaya
(baca : tradisi). Yang inilah menjadi pembeda antardaerah. Perbedaan
inilah yang sebenarnya memberi khasanah budaya bangsa ini. Dan marilah
tradisi-tradisi ini terus kita pelihara, meskipun terjadi peralihan paradigma masyarakat.
Lain ladang lain belalang.
Lain
ladang lain belalang itulah ungkapan yang tepat untuk menyikapi
keanekaragaman budaya negeri ini. Maka tidaklah berlebihan jika negeri
kita mendapat julukan negeri sejuta pesona. Baik pesona alam maupun
pesona budaya. Budaya
yang berkembang tidak lepas dari pengaruh kenyakinan masyarakat
setempat. Seperti agama yang dianutnya. Contohnya ketika kebahagian
menyambut Iedul Fitri muncullah budaya halal bil halal. Ketika Iedul
Adha masyarakat Demak mengadakan Gerebek Besaran. Ada pula Sekaten di
Solo. Dug deran dan budaya padusan menjelang Romadhon pun terpelihara
dengan baik oleh masyarakat kita.
Salah satu dari budaya yang berkembang di tengah masyarakat adalah Ketuwinanan. Budaya ini memang kurang populis bagi masyarakat di pesisir utara. Namun kalau kita dekati secara ilmu budaya, ketuwinan
ini memberi pembelajaran yang luar biasa kepada masyarakat. Cuman
sayang budaya ini hanya ada di kecamatan Kaliwungu. Yakni sebuah kota
kecil yang di sebelah barat kota Semarang.
Bagi masyarakat Kaliwungu Ketuwin merupakan hari raya ketiga setelah Iedul Fitri dan Iedul Adha. Sehingga orang-orang tua terdahulu sering menyebutnya Bodho Ketuwin. Ketuwin secara morfologi berasal dari kata dasar tuwi – nuweni – ketuwin. Tuwi berarti tilik, nuweni (nilik’i : mengunjungi), ketuwin (saling mengunjungi ).
Tradisi Ketuwinan
Mengapa masyarakat Kaliwungu begitu antusias memelihara budaya Ketuwinan ?
Pertama Ketuwinan merupakan implementasi dari silahturohim. Penggambaran silaturrohim di ketuwinanan adalah weh – wehan. Kedua
waktu penyelenggaraan di bulan Maulud yakni bulan ketiga di kalender
Hijriyah. Pada bulan Maulud semua masyarakat dunia bergembira karena
pada bulan ini Allah SWT telah mengirimkan sosok manusia yang menjadi
suri tauladan dan memberi keberkahan seluruh umat manusia yakni Muhammad
SAW. Kebahagian itu juga dirasakan oleh masyarakat Kaliwungu.
Kekegembiraan itu sudah tergambar ketika memasuki hari – hari terakhir di bulan Safar. Di hari terakhir bulan Safar masyarakat Kaliwungu menyelenggarakan Rebo Pungkasan. Rebo
Pungkasan berarti Rabu terakhir di bulan Safar. Acara Rebo Pungkasan
adalah berzanji ( baca kitab maulud) dilaksanakan pagi hari. Di mulai
pukul 05.30 WIB. Seluruh masyarakat tumpah ruah mendatangi
musholla-musholla atau surau-surau dengan membawa jajan yang sudah
disiapkan dini hari.
Ternyata Rebo Pungkasan menjadi awal diadakannya weh-wehan di sore hari. Weh-wehan yaitu saling bertukar jajan. Weh-wehan dilaksanakan setiap hari Kamis setelah anak-anak kecil pulang madrasahan. Selain itu, Rebo Pungkasan juga sebagai pembuka diadakan berzanji malam hari di musholla sampai tanggal 12 Maulud.
Ketiga adanya motivasi untuk berkarya dan berprsetasi. Perwujudan berkarya di saat
Ketuwinan seperti membuat teng – tengan, menginovasi pembuatan manggar dan menciptakan aneka makanan. Sedangkan
wujud dari prestasi, diadakannya lomba – lomba untuk anak – anak
madrasahan. Seperti lomba baca maulud, khitobah, kaligrafi, dan seni
baca Al qur’an. Keempat penyelamat makanan tradisional. Di saat
ketuwinan banyak makanan khas rakyat dimunculkan kembali. Seperti
sumpel, kupat jembut, ketan abang ijo, ketan srondeng, kicak, dan
klepon.
Ada apa dengan Weh-wehan
Weh-wehan merupakan perwujudaqn dari silaturrohim ? Weh-wehan berasal dari kata weneh (bahasa Jawa yang berarti diberi). Weh-wehan merupakan kata ulang / reduplikasi yang bermakna saling. Sehingga weh-wehan bermakna saling memberi / bertukar jajan. Ketika proses saling memberi terjadilah hubungan saling mengunjungi. Namun demikian, hakikat weh-wehan tidak sebatas
saling tukar jajan atau mengunjungi saja . Menurut para kiai sepuh di
Kaliwungu bahwa weh-wehan memberi pembelajaran yang sangat mulia. Pertama weh-wehan bermakna berbagi kebahagian. Pada weh-wehan semua anak membaur jadi satu. Tidak dipandang si kaya atau si miskin, muslim atau nonmuslim. Kondisi ini sesuai dengan misi nabi Muhammad SAW diturunkan ke bumi yakni sebagai rohmatalil alamin. Kedua dengan Weh-wehan diharapkan muncul budaya tepo sliro (saling menghormati). Ketiga lewat budaya weh-wehan diharapkan akan tumbuh budaya sodaqohan. Keempat ta’arufan yang artinya saling kenal.
Sumpel
Ketuwin terasa kurang jos jika tidak ada sumpel. Sumpel diyakini merupakan makanan khas Kaliwungu. Sehingga setiap kali peringatan ketuwin digelar ada beberapa hal yang tidak dapat ditinggalkan yakni memasang teng-tengan di depan rumah, mauludan / berzanji setiap hari, dan weh – wehan. Dari semua kegiatan di bulan Maulud weh – wehan banyak menyita perrhatian, karena pada kegiatan itu muncullah beberapa makanan khas Kaliwungu. Salah satunya adalah sumpel. Sumpel adalah makanan berbahan
dasar beras yang dibungkus daun bambu dan berbentuk segitiga. Pasangan
sumpel adalah sambel kelapa. Memasak sumpel seperti layaknya memasak
lontong atau ketupat. Kesulitan membuat sumpel adalah sulitnya mencari
daun bambu yang ukurannya besar. Padahal di Kaliwungu sekarang ini untuk
mencari daun bambu yang idial untuk membuat sumpel sangat sulit. Sehingga tak jarang mereka pesan kepada orang lain yang bertempat tinggal di luar Kaliwungu.
Mengapa sumpel menjadi makanan khas ketuwin. Ternyata bentuk sumpel inilah yang mengandung makna filosofis. Sumpel berbentuk segitiga ketika diposisikan berdiri.
Dengan demikian hanya
ada satu ujung (sudut) yang berada di atas. Sedangkan ujung (sudut)
yang lain berada di bawah kanan kiri. Ujung di atas merupakan perlambang
hablu minallah ( selalu ingat kepada Allah SWT). Sedangkan ujung bawah kanan kiri, merupakan perlambang hablu minannas ( hubungan antarmanusia ). Semoga ketuwinan di Kaliwungu akan terus memberi berkembang dan memberi kemanfaat. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar