Rabu, 26 Maret 2014

budaya kaliwungu


Senin, 31 Januari 2011

Ketuwen di Tengah Peralihan Budaya Masyarakat Kaliwungu

Ketuwen di Tengah  Peralihan Budaya
 Masyarakat Kaliwungu
Oleh : Abdul Basyid
Sejak Kaliwungu diproyeksikan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Jawa bagian utara oleh Bupati Kendal,  menjadi tanda tanya sebagian masyarakat Kaliwungu. Kekhawatiran ini wajar, mengingat belum adanya informasi dan sosialisasi yang akurat dari pemerintah tentang apa itu KEK, dan bagaimana manfaat KEK untuk  masyarakat Kaliwungu. 
Kekhawatiran – kekhawatiran yang berkembang di masyarakat jika ditelusuri ada tiga macam. Yakni kekhawatiran  ekonomi, kekhawatiran sosial budaya, dan kekhawatiran tataruang kota. Potret kekhawatiran tersebut jangan sampai dibiarkan begitu saja. Apa yang terjadi terhadap Jakarta, Semarang, dan kota –kota besar lainnya jangan sampai terulang di Kaliwungu.
Kaliwungu adalah kota santri. Julukan yang melekat ini tidaklah ringan untuk disandang. Meskipun fakta berbicara kalau di Kaliwungu banyak dijumpai pondok persantren, dan itu merupakan pusat pembelajaran agama. Bahkan kondisi kesantrianpun dapat dilihat dari budaya masyarakat setempat. Kesantrian masyarakat Kaliwungu ternyata memberi warna terhadap budaya (baca : tradisi). Yang inilah menjadi pembeda antardaerah. Perbedaan inilah yang sebenarnya memberi khasanah budaya bangsa ini. Dan marilah tradisi-tradisi ini terus kita pelihara, meskipun terjadi  peralihan paradigma masyarakat.
Lain ladang lain belalang.
Lain ladang lain belalang itulah ungkapan yang tepat untuk menyikapi keanekaragaman budaya negeri ini. Maka tidaklah berlebihan jika negeri kita mendapat julukan negeri sejuta pesona. Baik pesona alam maupun pesona budaya. Budaya yang berkembang tidak lepas dari pengaruh kenyakinan masyarakat setempat. Seperti agama yang dianutnya. Contohnya ketika kebahagian menyambut Iedul Fitri muncullah budaya halal bil halal. Ketika Iedul Adha masyarakat Demak mengadakan Gerebek Besaran. Ada pula Sekaten di Solo. Dug deran dan budaya padusan menjelang Romadhon pun terpelihara dengan baik oleh masyarakat kita.
Salah satu dari budaya yang berkembang di tengah masyarakat adalah Ketuwinanan. Budaya ini memang kurang populis bagi masyarakat di pesisir utara. Namun kalau kita dekati secara ilmu budaya,  ketuwinan ini memberi pembelajaran yang luar biasa kepada masyarakat. Cuman sayang budaya ini hanya ada di kecamatan Kaliwungu. Yakni sebuah kota kecil yang di sebelah barat kota Semarang.
Bagi masyarakat Kaliwungu Ketuwin merupakan hari raya ketiga setelah Iedul Fitri dan Iedul  Adha. Sehingga orang-orang tua terdahulu sering menyebutnya Bodho Ketuwin. Ketuwin secara morfologi  berasal dari kata dasar tuwinuweni – ketuwin. Tuwi berarti tilik, nuweni (nilik’i : mengunjungi), ketuwin (saling mengunjungi ).    
Tradisi Ketuwinan
      Mengapa masyarakat Kaliwungu begitu antusias memelihara budaya Ketuwinan ?
Pertama Ketuwinan merupakan implementasi dari  silahturohim. Penggambaran silaturrohim di ketuwinanan adalah weh – wehan. Kedua waktu penyelenggaraan di bulan Maulud yakni bulan ketiga di kalender Hijriyah. Pada bulan Maulud semua masyarakat dunia bergembira karena pada bulan ini Allah SWT telah mengirimkan sosok manusia yang menjadi suri tauladan dan memberi keberkahan seluruh umat manusia yakni Muhammad SAW. Kebahagian itu juga dirasakan oleh masyarakat Kaliwungu. Kekegembiraan itu  sudah tergambar ketika  memasuki hari – hari terakhir di bulan Safar. Di hari terakhir bulan Safar masyarakat Kaliwungu menyelenggarakan  Rebo  Pungkasan. Rebo Pungkasan berarti Rabu terakhir di bulan Safar. Acara Rebo Pungkasan adalah berzanji ( baca kitab maulud) dilaksanakan pagi hari. Di mulai pukul 05.30 WIB. Seluruh masyarakat tumpah ruah mendatangi musholla-musholla atau surau-surau dengan membawa jajan yang sudah disiapkan dini hari.
       Ternyata Rebo Pungkasan menjadi awal diadakannya weh-wehan di sore hari. Weh-wehan  yaitu saling bertukar jajan. Weh-wehan dilaksanakan setiap hari Kamis setelah anak-anak kecil pulang madrasahan. Selain itu, Rebo Pungkasan juga sebagai pembuka diadakan berzanji malam hari  di musholla sampai tanggal 12 Maulud.
       Ketiga adanya motivasi untuk berkarya dan berprsetasi. Perwujudan  berkarya di saat
Ketuwinan seperti membuat teng – tengan, menginovasi pembuatan manggar dan menciptakan aneka makanan.  Sedangkan wujud dari prestasi, diadakannya lomba – lomba untuk anak – anak madrasahan. Seperti lomba baca maulud, khitobah, kaligrafi, dan seni baca Al qur’an. Keempat penyelamat makanan tradisional. Di saat ketuwinan banyak makanan khas rakyat dimunculkan kembali. Seperti sumpel, kupat jembut, ketan abang ijo, ketan srondeng, kicak, dan klepon.
Ada apa dengan Weh-wehan
       Weh-wehan merupakan perwujudaqn dari  silaturrohim ? Weh-wehan berasal dari kata weneh (bahasa Jawa yang berarti diberi). Weh-wehan merupakan kata ulang  / reduplikasi yang bermakna saling. Sehingga weh-wehan bermakna saling memberi / bertukar jajan. Ketika  proses saling memberi terjadilah hubungan saling mengunjungi. Namun demikian, hakikat weh-wehan tidak  sebatas saling tukar jajan atau mengunjungi saja . Menurut para kiai sepuh di Kaliwungu bahwa weh-wehan memberi pembelajaran yang sangat mulia. Pertama weh-wehan bermakna berbagi kebahagian.  Pada weh-wehan semua anak membaur jadi satu. Tidak dipandang si kaya atau si miskin, muslim atau nonmuslim. Kondisi ini sesuai  dengan misi nabi Muhammad SAW diturunkan ke bumi yakni sebagai rohmatalil alamin. Kedua dengan Weh-wehan diharapkan muncul budaya tepo sliro (saling menghormati). Ketiga lewat budaya weh-wehan diharapkan akan tumbuh budaya sodaqohan. Keempat ta’arufan yang artinya saling kenal.
Sumpel
       Ketuwin terasa kurang jos jika tidak ada sumpel. Sumpel diyakini merupakan makanan khas Kaliwungu. Sehingga setiap kali peringatan ketuwin digelar ada beberapa hal yang tidak dapat ditinggalkan yakni memasang teng-tengan di depan rumah, mauludan / berzanji setiap hari, dan weh – wehan.  Dari semua kegiatan di bulan Maulud weh – wehan banyak menyita perrhatian, karena pada kegiatan itu  muncullah beberapa makanan khas Kaliwungu. Salah satunya adalah sumpel. Sumpel adalah makanan  berbahan dasar beras yang dibungkus daun bambu dan berbentuk segitiga. Pasangan sumpel adalah sambel kelapa. Memasak sumpel seperti layaknya memasak lontong atau ketupat. Kesulitan membuat sumpel adalah sulitnya mencari daun bambu yang ukurannya besar. Padahal di Kaliwungu sekarang ini untuk mencari daun bambu yang idial untuk membuat sumpel sangat sulit. Sehingga tak jarang mereka pesan kepada orang lain yang bertempat tinggal di luar Kaliwungu. 
       Mengapa sumpel menjadi  makanan khas ketuwin. Ternyata bentuk sumpel inilah yang mengandung makna filosofis. Sumpel berbentuk segitiga ketika diposisikan berdiri.
Dengan demikian  hanya ada satu ujung (sudut) yang berada di atas. Sedangkan ujung (sudut) yang lain berada di bawah kanan kiri. Ujung di atas merupakan perlambang hablu minallah (  selalu ingat kepada Allah SWT). Sedangkan ujung bawah kanan kiri, merupakan perlambang hablu minannas ( hubungan antarmanusia ). Semoga ketuwinan di Kaliwungu akan terus memberi berkembang dan memberi kemanfaat. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar